OpiniTerbaru

Transmigrasi, Keadilan Sosial atau Ketimpangan Sosial

BORNEOBARU.IDTransmigrasi merupakan program pemerintah yang telah lama dicanangkan secara resmi oleh pemerintah Indonesia di bawah rezim orde lama presiden Soekarno, namun jauh sebelum itu pemerintah kolonial Belanda pun sudah melakukan hal ini guna mengurangi angka kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa. Setidaknya inilah yang tertulis dalam beberapa situs penyedia informasi yang membahas persoalan transmigrasi. Program ini dianggap mampu untuk menaikkan taraf hidup masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan mampu menjawab persoalan ledakan jumlah penduduk dalam sebuah wilayah yang sudah terlalu padat persebarannya, agar kemudian ditempatkan secara merata di kawasan baru yang dirasa lebih lega dan masih terdapat banyak ruang “kosong”.

Kalimantan yang merupakan pulau terluas ketiga di dunia, dan terluas kedua di Indonesia setelah Papua Nugini ini merupakan wilayah yang dianggap pemerintah merupakan “lahan kosong” yang dapat menjadi rumah baru para transmigran tersebut. Total luas keseluruhan pulau Kalimantan mencapai 743.330 km², sedangkan jika dihitung sesuai batas teritorial negara Indonesia, hanya berjumlah 615.326 km² saja. Dengan luas tersebut pulau Kalimantan hanya dihuni sekitar 14.297.069 jiwa (sensus penduduk tahun 2010), dan dengan melihat data-data pertumbuhan penduduk tersebut tahun-tahun sebelumnya, maka diestimasikan pada tahun 2016 ini total penduduk di Kalimantan bakal mencapai 16 juta jiwa. Apabila dibandingkan dengan luas keseluruhan pulau jawa yang hanya mencapai 139.000 km², dan dihuni lebih dari 136 juta jiwa atau lebih dari 60 persen total penduduk Indonesia, maka jelas terlihat sangat tumpang tindih. Data ini jelas menyatakan bahwa transmigrasi penduduk adalah hal yang wajib dijalankan oleh pemerintah, guna membuat sebaran jumlah penduduk yang lebih ideal. Namun apakah tepat jika persoalan ini hanya dilihat secara matematis (jumlah) semata, dengan mengabaikan konteks keadilan sosial di masyarakat?

Dalam bukunya sosiolog Michael R Goldman, menyebutkan bahwa transmigrasi sendiri memang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa, hal tersebut akan memberikan kesempatan bagi orang yang mau berkerja dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi. Hal ini senada dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang belum lama ini menyatakan telah menyiapkan total 3,5 juta hektar lahan, untuk mendatangkan penduduk dari berbagai macam daerah, dengan konsentrasi terbesar berasal dari pulau Jawa. Dapat dipastikan bahwa begitu banyak warga yang antusias untuk mengikuti program ini, terbukti dengan jumlah kuota yang tidak mencukupi. Bagaimana tidak? Program yang didukung penuh oleh pemerintah ini akan “membekali” transmigran dengan berbagai fasilitas rumah tangga hingga pekerjaan, tanah, rumah tinggal serta biaya tunai yang didapatkan setiap bulan. Fakta lain menunjukkan bahwa selain diberi tanah seluas 0,25 Ha perKK selain itu juga diberikan tanah seluas 3 Ha yang diberikan dengan harga terjangkau dengan cara dicicil. Usaha perkebunan tersebut diberi status hak milik (SHM) – perlu diketahui bahwa Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.

Transmigrasi di Kalimantan

Jika secara lebih dalam kita melihat gejala permasalahan sosial kemasyarakatan yang ada di Kalimantan, maka kita akan menjumpai begitu banyak konflik agraris antara masyarakat lokal atau bahkan masyarakat adat dengan korporasi berskala besar yang datang membutuhkan lahan untuk menjalankan roda bisnis perindustriannya.

lahan sawit

Masyarakat transmigran yang dipekerjakan di areal perkebunan seolah dihadapkan langsung dengan masyarakat setempat yang selama ini kerap bermasalah dengan korporasi. Masyarakat pendatang bukan tidak mungkin dijadikan “peredam” bagi derasnya gelombang protes dari masyarakat setempat atas kegiatan korporasi. Dua pihak masyarakat dipaksa untuk saling berbenturan sehingga sangat memungkinkan terpicunya konflik horizontal. Hal yang seperti tidak disengaja ini mengindikasikan lemahnya kesadaran dari pemerintah, ketidakpekaan terhadap nilai yang tumbuh dan dipercayai oleh masyarakat bahwa arti penting bermusyawarah dan berkomunikasi secara terbuka tidak lagi dikedepankan. Sebagai catatan, data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat mencatat setidaknya pada tahun 2011 terjadi 67 konflik, 2013 96 konflik, 2014 126 konflik. Data tersebut menunjukkan adanya ekskalasi terjadinya konflik yang berujung kriminalisasi terhadap masyarakat yang melawan dan mempertahankan tanah dan wilayah mereka.

Konflik berlarut-larut yang seperti tidak mempunyai jalan tengah ini menjadi semacam tolok ukur “keseriusan” pemerintah dalam menyelesaikan sebuah persoalan-persoalan tadi. Jika hal mendasar yang terjadi di daerah tujuan transmigrasi saja belum/tidak mampu diselesaikan, bagaimana mungkin pemerintah mampu untuk mengurai permasalahan yang mungkin/bakal timbul antara masyarakat lokal/adat yang notabene merupakan “tuan rumah” dengan para transmigran ini nantinya? Bagaimana sebetulnya komitmen pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang mungkin saja bisa terjadi sebagai konsekuensi dari sebuah program yang tetap dipaksa berjalan dengan mengesampingkan hal-hal mendasar tadi? Apakah bisa dikatakan bahwa program transmigrasi hanya menguntungkan satu pihak dan menganaktirikan yang lainnya? Jika pemerintah dapat dengan mudah memberikan segala macam kemudahan untuk para transmigran mendapatkan tanah, mengapa urusan menyangkut tanah dengan masyarakat adat yang sudah turun-temurun “mewarisi” tanah tersebut selalu menemui jalan buntu?

Berbagai alasan lain yang melatarbelakangi pro dan kontra di kalangan masyarakat disebutkan dalam argumen yang beragam. Beberapa kritik yang timbul di masyarakat seputar permasalahan transmigrasi ialah menyorot beberapa hal, mulai dari tuduhan bahwa transmigrasi merupakan upaya pemerintah mengganti populasi penduduk lokal dengan penduduk pendatang, sampai tuduhan pemanfaatan populasi baru tersebut sebagai potensi lumbung suara untuk mendukung calon kepala daerah tertentu menjelang perhelatan tahun politik pilkada. Belum lagi beberapa fakta mengenai para transmigran yang lari meninggalkan kawasan trans dan kembali ke daerah asal setelah sebelumnya menjual tanah bantuan/pemberian dari pemerintah tersebut. Tentu hal-hal tadi menjadi catatan khusus dan merupakan coreng hitam, gambaran sebuah muara dari hulu sistem bernama trasmigrasi yang dalam kenyataannya masih “prematur”.

Perspektif lain mengatakan bahwa, transmigrasi bukan lah satu-satunya cara memeratakan pembangunan atau meningkatkan kualitas perekonomian suatu kawasan (daerah). Dengan sedemikian besarnya anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah untuk menyiapkan sarana dan prasarana bagi pemukiman transmigrasi yang mencapai angka triliunan itu, dirasa beberapa pihak akan lebih bijak jika disalurkan kepada tiap-tiap kepala keluarga yang mengikuti program transmigrasi tersebut. Langkah ini terdengar lebih konkret dan realistis, tepat sasaran dan langsung menyasar para individu yang dianggap belum sejahtera tadi. Artinya dapat dikatakan ini sebagai pemberian bantuan langsung tunai. Namun menurut pandangan saya pribadi akan sangat sulit untuk menyetujui hal ini, mengingat dalam pelaksanaannya bakal sarat dengan muatan politis dan bukan tidak mungkin mengundang korupsi karena dana yang dikucurkan untuk perkepala keluarga akan sangat besar. Belum lagi jika kita menyoal pengawasan dan pemanfaatannya, apakah mungkin dana fantastis tersebut dengan bijak digunakan untuk memperbaiki ekonomi atau malah dipergunakan untuk kesenangan semata. Seharusnya jika transmigrasi hendak berjalan dengan baik, maka sistem yang mengaturnya harus diperbaiki terlebih dahulu. Entah itu menyangkut tempat tujuan transmigran, atau bagaimana tanggapan dari masyarakat setempat, tentu harus didengarkan dan menjadi bahan pertimbangan. Bukan hanya dianggap sebagai suara minor yang dapat diacuhkan begitu saja. Dan yang lebih penting tentu harus ada kesepakatan antara daerah pengirim transmigran, dengan daerah tujuan transmigran. Pelibatan unsur lokal juga menjadi salah satu syarat mutlak,agar keadilan sosial bukan hanya didengungkan sebagai slogan kosong semata namun memiliki arti yang sesungguhnya di mata seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Bagikan ke sosial media