RKUHAP 2025 Jadi UU: Mengapa Warga Perlu Waspada?
BORNEOBARU.ID – Pada hari Selasa, 18 November 2025, DPR mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna. Keputusan tersebut diumumkan dalam sidang yang dipimpin Ketua DPR dan dilaporkan oleh Ketua Komisi terkait. Berdasarkan catatan resmi DPR, semua fraksi menyatakan setuju sehingga RKUHAP resmi disahkan menjadi UU.
Secara teknis, undang-undang hasil pengesahan tersebut memasuki fase transisi sebelum diberlakukan penuh. DPR menyebutkan tentang jadwal pemberlakuan yang mengikuti ketentuan transisi.
Baca Juga: Cinta Bisa Menunggu, Ekonomi Tidak: Alasan Anak Muda Menunda Pernikahan
Dokumen DPR menyatakan pemberlakuan efektif akan dimulai pada 2 Januari 2026 (sesuai ketentuan masa transisi yang tercantum dalam naskah). Dengan demikian meskipun disahkan pada 18 November 2025, beberapa ketentuan baru akan efektif pada tanggal yang telah ditetapkan.
Lalu ada beberapa poin yang mengkhawatirkan masyarakat oleh karena pasal-pasal yang ditetapkan.
Pasal 16
Penyelidik diberikan wewenang untuk melakukan teknik seperti penyamaran, pembelian terselubung (undercover buy), dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Hal ini memungkinkan penjebakan sehingga dapat terjadi penyalahgunaan dan potensi pelanggaran hak asasi.
Pasal 74
Pasal ini memberikan peluang restorative justice bahkan ketika belum jelas apakah ada tindak pidana. Koalisi Masyarakat Sipil menyebut ini memiliki risiko besar. Seseorang dapat dipaksa untuk berdamai dengan pelaku dan kemungkinan diperas sebelum ada fakta tindak pidana benar-benar diuji.
Pasal 90 & Pasal 93
Kedua pasal ini mengatur tentang penahanan dan penangkapan tanpa penetapan yang tegas kapan aparat diperbolehkan melakukan upaya paksaan. Hal ini dapat menyebabkan seseorang dapat dijerat secara subjektif.
Pasal 105, 112A, 132A, dan Pasal 124
Pasal-pasal ini memberi kewenangan kepada aparat untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, penyitaan, bahkan pemblokiran (akses komunikasi) tanpa izin pengadilan. Hal ini menimbulkan penilaian yang subjektif oleh penyidik.
Baca Juga: Cincin Tunang, Sebuah Janji Yang Tak Pernah Selesai, Tersisa Menjadi Luka Di Hati
Pasal 5
Pasal 5 ini memperbolehkan penyelidik atas perintah penyidik melakukan tindakan signifikan. Penyidik dapat melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan, penyitaan, pengambilan sidik jari, identifikasi, bahkan menghadapkan saksi ke penyidik sejak tahap penyelidikan. Hal ini membuat penahanan sangat bersifat subjektif.
Pasal 7 dan 8
Polri atau kepolisian membawahi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Khusus. Hal ini memberikan kekuasaan yang besar pada polisi. Check and balance internal bisa lemah, apalagi mengingat catatan penyalahgunaan wewenang oleh aparat di berbagai kasus.
Pasal 137
Pasal ini membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental atau intelektual. Hal ini memungkinkan proses pemeriksaan dan hukuman bagi penyandang disabilitas bisa sangat tidak adil.


