Politik yang Butuh Musik dan Musisi yang Berpolitik
Borneobaru.id – Mungkin kita seringkali menyaksikan bahwa dalam setiap perhelatan politik yang ada selama ini, baik di tingkat daerah maupun nasional kerap menghadirkan hiburan panggung musik. Musik diyakini menjadi ekspresi identitas dan nasionalisme. Lagu-lagu nasional, himne, atau musik tradisional sering digunakan untuk memperkuat rasa persatuan dan identitas nasional suatu bangsa. Di satu sisi, musik memang tak dapat dimungkiri ialah hal yang tidak dapat dipisahkan dari gegap gempita pesta demokrasi 5 tahunan tersebut. Musik juga digunakan dalam kampanye politik sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan atmosfer yang mendukung bagi kepentingan bakal calon yang notabene adalah sang empunya acara. Calon politik sering menggunakan lagu tema atau musik yang mencerminkan nilai-nilai mereka atau paling tidak untuk menambah semarak dan kemeriahan semata berkat lagu-lagu dari band populer dan biduan-biduan kenamaan.
Lebih jauh sebetulnya disebutkan bahwa pengaruh musik memang sangat besar karena ia mampu mampu berlaku sebagai penghantar atau medium untuk menyuarakan protes dan aktivisme politik. Lagu-lagu protes dapat memuat pesan-pesan sosial, politik, atau bahkan menyuarakan pesan anti-pemerintah. Contohnya adalah lagu-lagu dari era pergerakan hak sipil di Amerika Serikat atau lagu-lagu anti-apartheid di Afrika Selatan. Akan tetapi agaknya dalam konteks yang diceritakan di sini malah memperlihatkan hubungan antara musik dan politik yang hanya bersifat simbiosis mutualisme semata alias saling membutuhkan asal saling menguntungkan. Hal itu dapat difahami bahwa band-band besar tanah air biasanya memiliki basis penggemar yang tidak sedikit dan mampu untuk menghimpun kerumunan masa, dan itu jelas disenangi oleh parpol atau para calon kandidat dalam menjaring suara. Sedangkan bagi band-band (red. Musisi) ini sendiri keuntungan yang didapat adalah bertambahnya jadwal manggung dan cuan yang lebih daripada yang ditarif pada acara-acara biasa dan “keuntungan” besar lain yang lebih politis dan bersifat investasi jangka panjang.
Politik jelas butuh musik, namun hal yang mencengangkan bagi kita ialah baru-baru ini sejumlah musisi jelas-jelas mendukung secara terbuka atau aktif terlibat dalam kampanye politik. Hal ini bisa mencakup partisipasi dalam konser amal untuk mendukung kandidat tertentu atau dukungan langsung terhadap isu-isu politik tertentu. Walaupun bukan rahasia dan bukan kali pertama bahwa nama-nama besar band/musisi seperti Iwan Fals, Slank, Dewa memiliki preferensi dan kubu politik masing-masing yang tidak jarang saling berhadap-hadapan. Hal ini jelas secara implisit memperlihatkan bahwa musisi-musisi ini telah berpolitik, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tapi yang kini tak juga dapat kita sangkal adalah banyaknya keterlibatan musisi dalam kontestasi politik dewasa ini.
Sudah diketahui oleh khalayak ramai bahwa nama beken seperti Ahmad Dhani kembali memastikan diri untuk maju sebagai caleg dari Partai Gerindra di dapil yang sama. Ia telah sejak lama aktif yang dengan mengikuti gerakan-gerakan politis oposisi di tanah air dan berimbas dengan dijebloskannya pentolan grup Band Dewa itu ke jeruri besi. Keputusannya untuk berpolitik memang sering di tentang oleh basis penggemarnya maupun orang banyak karena kerap menghasilkan kontroversi. Dia dianggap lebih punya kejeniusan di bidang music daripada harus melibatkan diri dalam kubangan politik yang penuh intrik. Dhani hanyalah satu nama dari deretan artis yang pada akhirnya lebih memilih politik ketimbang karir di bidang musik. Ada nama-nama lain seperti, Anang Hermansyah, “Pasha” Sigit Purnomo Said, Abdee Negara Slank, dll.
Pada akhirnya berpolitik memang adalah hak individu yang dijamin oleh Undang-Undang Negara dan dianggap sebagai jalan utama untuk menentukan kebijakan yang bakal punya dampak bagi banyak orang. Pertanyaannya kita tidak pernah tahu apakah motif terbesar para musisi terjun ke politik, apakah demi kepentingan pribadi atau kelompok? Rasanya sama saja.