OpiniTerbaru

Kemerosotan Kemampuan Berbahasa Mahasiswa: Fenomena Klasik Kebahasaan

Penulis: Evensius Dimas Hendro Riberu, M.Pd
(Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persada Khatulistiwa Sintang, Kalimantan Barat)

Borneobaru.id – Bahasa, bagi manusia, bukan sekadar alat komunikasi, melainkan pula cermin dari tata cara berpikir. Kualitas bahasa seseorang sering kali memperlihatkan ketajaman nalar, kedalaman pengetahuan, dan keluasan pandangan hidupnya. Namun, di ruang-ruang kelas perguruan tinggi, saya semakin sering menyaksikan sebuah gejala yang kian mengkhawatirkan: kemerosotan kemampuan berbahasa di kalangan mahasiswa!

Fenomena Kebahasaan yang Klasik

Fenomena ini hadir dalam berbagai bentuk. Misalnya, mahasiswa kerap menggunakan kosakata yang serba ringkas, bercampur aduk antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Dalam forum akademik, ekspresi lisan mereka sering kali terjebak dalam gaya percakapan sehari-hari. Pola ini sebenarnya tidak baru sama sekali, bahkan cukup klasik karena disebabkan oleh disrupsi era digital zaman sekarang yang turut memberikan pengaruh yang tidak sedikit terhadap gaya berbahasa anak muda yang banyak terpapar dengan segala macam konten digital di sosial media.

Ragam bahasa media sosial yang penuh dengan bahasa slang (red: ragam bahasa tren musiman) atau ungkapan gaul yang kerap penuh dengan singkatan dan akronim pada akhirnya secara tidak langsung mendistorsi alam bawah sadar individu-individu ini. Alih-alih mampu menyusun argumen dengan runut dan bernas, mereka cenderung melontarkan ungkapan instan dan spontan tanpa kemampuan untuk mengelaborasikan narasi dan pokok pikiran yang jauh lebih mendalam, ideal dan berbobot.

Setidaknya itu adalah proyeksi nyata yang saya pribadi sering jumpai selama mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta di Sintang, Kalimantan Barat. Tiap kali saya terlibat dalam sebuah perbincangan tertentu dengan mahasiswa/i di lingkup kampus dalam beberapa situasi formal akademik di dalam kelas bahkan saat aktivitas bimbingan yang sebetulnya lebih semi-formal sekalipun, mereka seperti kesulitan untuk membangun kalimat-kalimat yang runtut, diksi atau pilihan kata tidak tepat, nalar argumentatif yang keliru. Lebih miris lagi manakala saya sebagai pengajar kerap menyaksikan bahwa mereka masih terjebak dan gagap untuk menyesuaikan diri pada situasi atau konteks berbahasa di lingkup akademik malah tertukar dengan gaya tutur sehari-hari yang kemudian terbawa ke ruang diskusi ilmiah. Hal ini sedikit banyak menjadikan cita-cita bahasa Indonesia sebagai medium ilmiah dan akademis masih cukup jauh dari harapan.

Hal yang Tanpa Sadar Diwajarkan

Sebagian orang menganggap percampuran ini wajar sebagai konsekuensi masyarakat bilingual atau multilingual. Namun, justru di titik inilah persoalan bermula. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001), interferensi bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia sering kali menimbulkan “penyimpangan” dalam struktur maupun pemilihan kosakata. Interferensi ini bisa berupa tata bahasa yang dipengaruhi logika bahasa ibu, atau kosakata yang diterjemahkan secara harfiah sehingga mengaburkan makna.

Lebih jauh lagi, seperti yang pernah dikemukakan oleh Abdul Chaer (2012), dalam masyarakat multilingual, bahasa daerah memiliki daya tarik emosional yang kuat karena menjadi bahasa pertama (mother tongue) bagi banyak anak muda. Bahasa Indonesia hadir belakangan sebagai bahasa kedua. Dalam situasi tertentu, bahasa kedua ini sering diposisikan sekadar sebagai bahasa formalitas, bukan bahasa berpikir sehari-hari. Akibatnya, ketika mahasiswa menulis atau berbicara dalam konteks akademik, logika bahasa daerah masih mendominasi struktur kalimat mereka.

Implikasinya cukup serius. Bahasa Indonesia yang seharusnya menjadi wahana berpikir kritis, justru diperlakukan sebagai “kulit luar” semata. Tidak mengherankan jika kita menemukan tulisan mahasiswa yang kurang terstruktur, kalimatnya panjang berliku, atau terlalu ringkas tanpa kelengkapan unsur. Itu semua mencerminkan bagaimana bahasa daerah yang mereka kuasai sejak kecil masih menguasai cara mereka menyusun pikiran.

Refleksi Membangun Kedisiplinan Berbahasa Indonesia

Di sisi lain, saya tidak menolak peran positif bahasa daerah. Bahasa daerah adalah identitas, warisan budaya, sekaligus kekayaan linguistik bangsa. Namun, ketika bahasa daerah terlalu dominan tanpa diimbangi dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, maka fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa persatuan bisa tergerus.

Oleh karena itu, tugas kita di dunia pendidikan adalah menumbuhkan kesadaran diglosia secara sehat: mahasiswa dapat tetap bangga menggunakan bahasa daerah dalam konteks budaya dan sosial, tetapi sekaligus mampu menguasai bahasa Indonesia dengan baik dalam konteks akademik. Ini sejalan dengan pandangan Gorys Keraf (1997) yang menekankan bahwa bahasa yang baik bukan hanya mengikuti kaidah tata bahasa, melainkan juga menyesuaikan fungsi sosial dan situasinya.

Maka, latihan berbahasa Indonesia di kelas tidak cukup hanya berhenti pada teori tata bahasa. Mahasiswa perlu didorong untuk membaca karya ilmiah dan populer yang berkualitas, sekaligus berlatih menulis serta berdiskusi dalam bahasa Indonesia yang baku dan lugas. Dengan begitu, mereka bisa menempatkan bahasa daerah sebagai kekuatan identitas, namun tetap menjadikan bahasa Indonesia sebagai medium berpikir kritis yang utama.

Akhirnya, tulisan reflektif ini saya tuliskan sebagai sebuah bentuk kepedulian seorang pendidik. Kita tidak sedang berhadapan dengan sekadar pergeseran gaya tutur anak muda, melainkan sebuah tantangan besar: bagaimana memastikan bahasa Indonesia tetap kokoh sebagai wahana nalar ilmiah di Tengah semakin kuatnya arus bahasa daerah dan bahasa asing.

Kita tidak bisa dan tidak perlu menghapus gaya bahasa anak muda yang cair dan ekspresif. Yang perlu dibangun adalah kesadaran konteks: kapan menggunakan bahasa santai, kapan berbicara secara kritis dan formal. Pendidikan Bahasa Indonesia harus menjadi ruang pembelajaran untuk itu—untuk berpikir, menyusun gagasan, berdialog, dan membangun makna.

Bahasa bukan semata alat komunikasi. Ia adalah cermin berpikir, kedisiplinan, cermin budaya, dan jembatan masa depan. Maka, menjaga kemampuan berbahasa generasi muda bukan hanya tugas guru dan pengajar bahasa, tetapi misi kebudayaan yang tak bisa ditunda.

Bagikan ke sosial media