Kelestarian Alam, Potret Peradaban dan Peran Kaum Muda
BORNEOBARU.ID – Alam merupakan elemen penting dalam kehidupan suku Dayak. Layaknya urat nadi yang mengalirkan darah di dalam tubuh manusia, masyarakat Dayak dulu menggantungkan hidupnya pada hasil alam. Masih segar rasanya diingatan cerita para orang tua bagaimana dulu mereka tinggal menebar jala, memasang pelantik (jerat) atau membuka ladang tak jauh dari rumah untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Adapula ingatan sebagian dari kita yang mungkin pernah mengalami, tentang pengalaman melihat gerombolan kera di pohon ara, “bermain” sembari mencari buah asam yang seringkali tumbuh liar di hutan yang ada di seberang sungai perkampungan. Hal demikian ialah potret dari masa lalu yang sebenarnya hendak menyampaikan “pesan” bahwa betapa kehidupan antara manusia, alam dan makhluk hidup lainnya terjadi begitu harmonis. Namun dengan begitu banyaknya perubahan yang terjadi belakangan ini, bukan tidak mungkin ingatan serta pengalaman berharga tersebut, kelak hanya akan menjadi dongeng pengantar tidur bagi generasi muda mendatang.
Mengapa demikian?
Perkembangan zaman tidak lagi terelakkan. Masyarakat Dayak telah jauh berkembang mengikuti laju peradaban, sama seperti masyarakat daerah lain pada umumnya di Indonesia. Mereka turut menikmati kemudahan teknologi lewat televisi, telepon; baik kabel dan seluler, internet, akses jalan raya beraspal dengan lalu lintas kendaraan bermotor yang tak pernah sepi, dan masih banyak lagi “produk” perkembangan zaman lainnya sebagai sebuah tolok ukur “kesejahteraan” dan “kemajuan” peradaban suatu kaum. Bukan hal yang mudah memang untuk terus menutup diri dari pengaruh ini mengingat kita tentu saja tidak ingin masuk dalam kategori ketinggalan zaman dan terkesan primordial, setidaknya menurut pandangan orang “kota” nan beradab. Masyarakat Dayak telah berubah, mereka bukanlah seperti yang digambarkan/dibicarakan oleh segelintir orang di luar sana, yang sebenarnya tidak mengerti dan tidak mencari tahu tentang apa yang didengarnya secara sekilas. Ada yang dengan gamblang mengatakan bahwa orang Dayak masih primitif, tinggal jauh di tengah hutan belantara, senang membunuh dengan memotong kepala manusia (ngayau), terlebih lagi yang bercerita bahwa orang Dayak melakukan kanibalisme (memakan satu sama lain). Tentu hal yang “dituduhkan” di atas sangat keliru dan tidak tepat untuk “dibaca” dalam konteks zaman sekarang. Masyarakat Dayak telah menghapus sejarah kelam dengan bermacam rekonsiliasi sejarah dan kini akan terus mengukir sejarah baru. Akan tetapi sejarah baru yang ditoreh sering salah jalan. Semua kemajuan tidak serta-merta menghasilkan sesuatu yang baik dan berjalan lebih seimbang dengan kehidupan “tenteram” yang semula ada. Perkembangan yang dimaksud disini, sekali lagi sayangnya, selain membawa berkah, juga turut membawa ancaman bagi kelestarian alam khususnya hutan Kalimantan. Masuknya akses teknologi dan transportasi membuka potensi hutan kita pada khalayak “asing” yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sudah terlihat dengan maraknya alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan yang sampai detik ini masih mungkin meluas. Padahal dulu hutan Kalimantan bersama hutan Amazon di Brasil didaulat menjadi paru-paru dunia.
Alam (baca: hutan), seperti kita ketahui, memiliki banyak manfaat bagi kehidupan. Selain sebagai penyedia oksigen, hutan juga berfungsi sebagai penyerap air. Tak hanya itu, hutan di Kalimantan menjadi habitat bagi flora-fauna endemik yang tidak bisa ditemui di hutan lain. Jika hutan itu tidak dijaga kelestariannya, maka terancam pula keberadaan flora-fauna endemik ini.
Peranan kaum muda dalam Kelestarian Alam
Berdasarkan pasal 17 Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 tentang Peran, Tanggung Jawab dan Hak Pemuda, pemuda Indonesia mempunyai 3 peran yang harus diwujudkan. Pertama sebagai kekuatan moral yang menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas pada setiap dimensi kehidupan kepemudaan. Kedua sebagai kontrol sosial yang membangkitkan kesadaran atas tanggung jawab, hak dan kewajiban sebagai warga Negara, membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum, partisipasi dalam kebijakan publik. Ketiga, sebagai agen perubahan dalam pendidikan politik dan demokratisasi, sumber daya ekonomi, kepedulian terhadap masyarakat, IPTEK, olahraga, seni dan budaya, kepedulian terhadap lingkungan hidup, pendidikan, dan/atau kepemimpinan dan kepeloporan pemuda.
Jika merunut pada Undang-Undang ini, kaum muda seharusnya berani bersikap menyangkut terancamnya kelestarian alam di Kalimantan. Namun sayangnya, tidak banyak yang “bersuara”. Kurangnya kepedulian kaum muda pada pelestarian alam Kalimantan kurang lebih disebabkan oleh gaya hidup “masa kini” yang menjangkit, bukan hanya kaum muda, seluruh lapisan masyarakat.
Ketersediaan akses dan teknologi yang ada saat ini membuat kita lupa bahwa alam pun perlu diperhatikan. Kita lebih sibuk pada berapa banyak “like” (dan retweet) yang didapat pada setiap postingan terbaru di akun social media dibandingkan mengapa banjir selalu datang setiap kali hujan di hulu sungai. Kita lebih sibuk membicarakan gosip yang menerpa para selebritis daripada orang utan liar yang mati terbakar di pemukiman warga.
Kaum muda, menjadi pengharapan sebuah bangsa. Pun dalam masalah alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Kaum muda seharusnya mau terlibat dan mengambil peranan dengan menyuarakan lantang pikiran terkait masalah tersebut. Bahkan juga memperjuangkan isu-isu akar rumput yang tidak tersentuh oleh kelompok elit. Oleh karena itu, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam Negara dan masyarakat disekitarnya sudah selayaknya terus dijaga kelestariannya. Menjaga kelestarian hutan berarti menjaga harta kita bersama. Membiarkan hutan terbabat habis berarti mempersiapkan dunia yang buruk bagi generasi penerus kita kelak.