Kasus Oli Palsu Kalbar Masih Belum Ada Titik Terang
BORNEOBARU.ID – Kasus peredaran oli palsu di Kalimantan Barat mencuat setelah penggerebekan gudang di Kabupaten Kubu Raya pada Juni 2025 dan temuan sampel yang kemudian diuji di laboratorium. Penggerebekan awal mengungkap adanya gudang yang diduga memproduksi dan menampung oli palsu dengan kemasan menyerupai produk pabrikan. Selanjutnya, penyidik mengumpulkan puluhan sampel untuk pemeriksaan.
Meski sempat menggegerkan publik, perkembangan hukum berjalan lambat sehingga muncul kesan kasus “tenggelam”.
Baca Juga: Kalimantan Barat Miliki 32 Hutan Adat Dengan Luas 117.717 Ha
Penanganan berproses dari penggerebekan, pengujian laboratorium, pemeriksaan saksi, hingga penetapan tersangka. Tahap demi tahap yang memerlukan verifikasi ilmiah dan administrasi baru menunjukkan hasil ketika berkas akhirnya dilimpahkan ke kejaksaan.
Pada tanggal 30 September 2025 lalu, Polda telah mengumumkan secara resmi inisial pelaku yaitu EM alias EC. Ia diduga melakukan perbuatan yang merugikan konsumen dan menyalahi ketentuan perlindungan konsumen.
Kasus ini terkesan lambat meskipun tersangka telah ditetapkan. Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan di tengah masyarakat.
Masyarakat Kalimantan Barat, terutama para pengendara ojek, angkutan, maupun kendaraan pribadi; berharap kasus ini cepat dituntaskan. Kerugian akibat ulah tersangka ini dirasakan oleh masyarakat luas, karena membahayakan kendaraan dan pengendara.
Baca Juga: Kalimantan Barat Masuk Daftar 10 Provinsi Terkorup 2024
Ada kekhawatiran lain yang timbul karena oli palsu ini diproduksi secara massal dan dikemas menyerupai produk resmi menunjukkan adanya sistem distribusi yang rapi dan terorganisir.
Tersangka yang sudah ditetapkan kemungkinan bukan pelaku tunggal. Ada peluang kuat bahwa penyidik masih menelusuri aktor lain di balik rantai suplai.
Publik juga mempertanyakan transparansi pihak berwajib dalam menangani kasus ini. Publik berharap koordinasi lintas lembaga dapat berjalan mulus. Jangan sampai polisi, kejaksaan, laboratorium forensik, dan instansi perlindungan konsumen memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Hal ini dapat mengahambat kasus dapat diselesaikan dengan baik.
Bila proses ini tidak disertai keterbukaan informasi dan langkah cepat dari penegak hukum, kasus ini berisiko kehilangan atensi publik. Kemudian, hal ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.


