Hendi Saragih: Sebuah Makna di Balik Sial dan Untung
borneobaru.id – Memakai setelan batik dan celana bahan, dipadu jam tangan dan pantofel hitam mengkilat, membuat sosoknya semakin berwibawa, apalagi dia memiliki postur tinggi besar. Hendi Sangapta Saragih adalah satu di antara anak muda Sintang yang cukup menonjol. Merangkak dari bawah. Dengan segala daya dan upaya, menyimpan satu cita-cita di kepalanya selama bertahun-tahun, lalu mewujud menjadi kenyataan. Hidupnya “lebih dari cukup”. Profesi notaris membawanya muncul kepermukaan.
Setelah lulus di Universitas Tanjung Pura, Hendi mengalami gelojak baru dalam hidupnya, fase yang nyaris sama dirasakan anak remaja menuju dewasa: mau jadi apa aku ini?
Tapi, sebelum menjadi notaris seperti sekarang, Hendi telah melewati berbagai jalan terjal—meskipun dia bukan dari keluarga susah—mulai dari bekerja di leasing, supir taksi hingga menjadi HRD di sebuah perusahaan. Semua tidak terjadi secara instan. Justru rangkuman perjalanan panjang itu yang membuatnya mampu menjadi notaris penting dan tahan banting.
Hendi merasa, waktu itu dia tidak punya pilihan selain menjadi notaris. Lebih tepatnya, dia tidak mau menyesali masa tuanya, terlebih dengan beban gelar sarjana hukum.
“Kalau buka usaha lain kayak warung kopi, ngapa dak dari dulu jak, untuk apa aku kuliah, aku pikir sia-sia,” ungkap alumni Untan 2007 itu ketika diwawancarai tim Borneo Baru, 16 Mei 2024.
Dari situ dia mulai mengerucutkan cita-citanya menjadi notaris dan menancapkan impian itu di alam bawah sadarnya. Dia mulai membuka buku kuliahnya dan giat mempelajari hukum, terlebih yang beririsan dengan dunia kenotariatan.
“Ternyata banyak yang aku dak ngerti pas belajar di kelas dulu, pas aku belajar sendiri dan mau jadi notaris baru aku benar-benar ngerti,” ungkap Hendi.
Setelah belajar siang dan malam, akhirnya dia lulus di kampus terkenal di Pulau Jawa, tepatnya di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah. Sembari kuliah, dia bekerja sebagai admin di gereja, dan mendapat uang sampingan.
“Hampir mau gila aku belajar waktu itu, karena aku dak mau jadi notaris yang asal-asalan,” kata pria 35 tahun ini yang masa remajanya nakal dan hobi berkelahi.
Dari sana Hendi menyadari, ternyata anak nakal sepertinya—yang bisa dikategorikan tidak punya masa depan—kalau memiliki niat dan ketekunan, bisa juga menjadi seseorang yang melampaui rasa malasnya. Hal itu dia buktikan dengan nilai yang baik selama pendidikan notarisnya.
Ketika ditanya apa yang membuat hidupnya bisa seperti sekarang ini, Hendi bilang: “Aku percaya bahwa hidup itu seperti filosofi bambu Cina. Ketika ditanam, batang bambu tidak kelihatan berkembang dan tetap sama selama tiga sampai empat tahun, tapi sebenarnya dalam rentang waktu itu dia sedang membangun akar, ketika akarnya sudah jadi, maka dia akan cepat sekali besar, bahkan bikin kita terheran-heran, kok cepat besar,” katanya.
Hendi bilang, sama halnya dalam membangun karier, mungkin kita pernah merasakan stagnan, tidak ada perubahan, bahkan seperti jalan di tempat. Tetapi ketika kita bertekun pada hal itu secara terus menerus, maka lama-lama pondasinya akan kokoh, ketika semuanya sudah siap, maka lihat yang terjadi. Tangga demi tangga akan mudah kita lewati.
“Dan hal itu yang membuat bambu Cina tahan terhadap terpaan angin kencang, tidak mudah tumbang,” kata Hendi.
Meski demikian, Hendi sangat yakin akan paradoks di dalam hidupnya. Sesuatu yang kita anggap sial, ternyata menyimpan keberuntungan di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu Hendi sangat percaya akan jalan dan takdir Tuhan.
“Aku tu sering sial, dan sering juga beruntung, aneh, tapi itulah hidup,” ungkap Hendi.
Pernah suatu kali, ketika dia melakukan tes sekolah notaris di Semarang, motor yang dia pinjam dari temannya hilang dicuri orang. Di situ dia merasakan kepanikan yang luar biasa dan tidak tahu harus berbuat apa, karena baru tiba sekitar beberapa hari di Semarang. Motor itu tidak mungkin bisa diganti karena Hendi cuma membawa uang pas-pasan untuk bekalnya merantau. Setelah mengalami kekhawatiran yang luar biasa, keajaiban pun terjadi, motor itu kembali dan Hendi pun terheran-heran.
“Dari sana aku percaya mujizat itu nyata. Jangankan di Semarang, kadang hilang di Sintang pun banyak dak ketemu bah,” cerita Hendi berapi-api.
Itu adalah satu peristiwa titik balik yang mengubah alur pemikirannya. Sedangkan yang kedua terjadi setelah dia hendak membuat kantor notaris.
Sebagai notaris muda yang baru lulus, Hendi sangat berambisi ingin mengaplikasikan ilmu yang sudah dia dapat selama pendidikan. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, dia pun mengalami satu kendala, izin kantornya tak kunjung keluar, bahkan dia sampai berangkat ke Jakarta untuk memastikan itu.
Tapi izin tak kunjung didapat. Hendi mulai frustasi. Bahkan sempat ingin mengubah jalan hidupnya karena merasa perjalannya sebagai notaris terlalu berat.
“Sial benarlah rasa hidupku ini,” kata Hendi.
Di masa-masa kecewa itu, dia dikenalkan oleh temannya kepada seseorang yang cukup penting. Tak ada maksud, tak ada tujuan, Hendi hanya ingin membuka jaringan seluas-luasnya kepada semua orang. Diskusi dalam pertemuan itu cukup menyenangkan karena mampu membangun satu ikatan personal. Mereka merasa cocok dan satu frekuensi.
Tanpa disangka-sangka, setelah izin kantornya keluar, orang itulah yang menjadi klien pertamanya. Dan pertemuan itu yang bisa menghidupkan kantornya sampai saat ini.
“Banyak kawan-kawan notaris muda bilang, aku orang beruntung, karena sekali buka kantor langsung banyak klien,” kata Hendi.
Pasalnya, kata Hendi, ada banyak notaris muda yang mengeluhkan soal ini, kantornya sepi karena susah mendapatkan klien. Karena profesi notaris sangat berkaitan erat dengan kepercayaan.
“Dari sana aku jadi berpikir, kalau seandainya izin kantorku cepat keluar, mungkin dak akan sebesar ini dan akan bernasib sama dengan yang lainnya, karena setelah orang itu menjadi klien aku, akhirnya ada banyak yang percaya.”
“Setelah aku pikir-pikir, kadang ketika kita ngerasa sial, sebenarnya ada keberuntungan yang sedang dipersiapkan,” pungkasnya.
Sekarang Hendi merasa sangat bersyukur atas pencapaiannya. Terlebih mampu menjadi berkat bagi sekitar 10 orang karyawannya. Yang setidaknya, meskipun tidak berskala besar, membantu memutar perekonomian di Kota Sintang.
Kepada mereka yang punya cita-cita menjadi notaris Hendi berpesan agar setidaknya mempelajari banyak hal khususnya hukum, karena kalau salah-salah risikonya besar.
“Untuk notaris baru setidaknya magang dulu, kalau ilmunya udah cukup baru buka sendiri,” ungkapnya.
“Seperti bambu Cina, kita perlu membangun akar yang kokoh, jadi kalau dapat persoalan hidup, kita tidak tumbang,” kata Hendi.
***
Borneo Baru membuat sebuah program Saatnya Borneo Bicara, yang isinya merupakan orang-orang yang memiliki kisah menarik. Jika Anda menemukan sosok yang layak dan pantas untuk ditulis silakan mengirimkan email ke alamat redaksi borneobaruid@gmail.com. Tuliskan juga mengapa sosok itu menjadi layak untuk diangkat.