NewsTerbaru

Delapan Keuskupan Se-Kalimantan Mengadakan Pertemuan di Kelam

Pertemuan Komisi PSE/Caritas/KKP-PMP/SGPP Regio Kalimantan: Seruan Iman untuk Keadilan Ekologis

BORNEOBERU.ID – Pada tanggal 15–19 Juni 2025, suasana hening dan penuh refleksi menyelimuti Rumah Retret Temenggung Tukung Kelam. Di mana, perwakilan dari delapan keuskupan se-Kalimantan berkumpul dalam Pertemuan Komisi PSE/Caritas/KKP-PMP/SGPP Regio Kalimantan. Pertemuan ini mengusung tema: “Sinodalitas Gereja dalam Mewujudkan Pastoral Berkeadilan Ekologis di Kalimantan.”

Baca Juga: Penyusunan RTRW Sintang Capai 70%, Fokus Jaga Keseimbangan Lahan & Lingkungan

Dari delapan keuskupan, Keuskupan Tanjung Selor berhalangan hadir dalam pertemuan tersebut. Pertemuan delapan keuskupan ini, bukan hanya untuk berdiskusi, melainkan untuk menyatukan langkah demi bumi Kalimantan yang lebih adil, lestari, dan manusiawi. Hadir pula tokoh-tokoh penting dari tingkat nasional. Mereka ialah RD. Marthen L.P. Jenarut (KKP-PMP KWI), Sr. Marisa, CB, dan RP. Aegidius Eka Aldilanta, Ocarm (PSE KWI). Tak hanya itu, dalam pertemuan tersebut, hadir pula Bapak Donatus Akur (Caritas Indonesia) dan Ibu Herculana Ersinta (SGPP KWI).

Hari Pertama: Misa Pembukaan dan Pesan Ekologis dari Uskup

Pertemuan dibuka dengan Misa Kudus yang dipimpin oleh Mgr. Samuel Oton Sidin, OFMCap, Uskup Keuskupan Sintang. Dalam sambutannya, RP. Agustinus Ubin, CM, Ketua PSE-Caritas Keuskupan Sintang, menegaskan pentingnya semangat sinodal dalam perjuangan keadilan ekologis dan juga menjadi sapaan selamat dating bagi peserta seluruh keuskupan regio Kalimantan.

Mgr. Samuel dalam pesannya menekankan bahwa sinodalitas bukan hanya konsep, tetapi tindakan nyata untuk “berjalan bersama”. “Gereja Katolik Kalimantan adalah subjek yang bergerak bersama demi bumi sebagai tempat kita berpijak dan hidup. Permasalahan kerusakan lingkungan sangat kompleks; tidak cukup bila dilakukan secara pribadi. Diperlukan jaringan dan kerja kolektif,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti tantangan struktural yang dihadapi Kalimantan. “Sungguh tidak mudah mengubah sistem ekonomi, politik, ideologi, budaya, gaya hidup, dan kebijakan pemerintah di Kalimantan saat ini,” lanjutnya.

Sesi hari pertama dilanjutkan dengan pemaparan dari para narasumber Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Mereka membagikan refleksi dan langkah strategis masing-masing komisi untuk mendampingi Gereja lokal Kalimantan.

Hari Kedua: Sharing Keuskupan dan Kolaborasi Nyata

Hari kedua diisi dengan sesi sharing dari tiap keuskupan, dimulai dari Keuskupan Sintang. Para peserta membagikan praktik baik, kendala lapangan, dan harapan untuk ke depan. Diskusi ini membuka ruang saling menguatkan dalam gerakan pastoral yang relevan dan berdampak.

Hari Ketiga: Exposure Lapangan dan Harapan Nyata

Hari ketiga membawa peserta ke Desa Sungai Lais, wilayah dampingan PSE Caritas Keuskupan Sintang. Di sini, para peserta menyaksikan langsung kerja nyata kelompok tani yang memproduksi beras putih, merah, dan hitam local dari Desa Sungai Lais. Kelompok yang semula hanya berisi 17 orang kini telah menjangkau 3 dusun.

Pak Welbertus dan Kepala Desa Stepanus Iswandi, SP, menyampaikan bahwa program tersebut memberikan dampak yang sangat positif. “Dulu banyak warga yang harus utang beras. Sekarang, karena kelompok tani ini, mereka bisa menjual hasil panen dan bahkan menyekolahkan anak-anak sampai kuliah,” terangnya.

Baca Juga: Lonjakan Harga Pangan di Sintang, Bawang Merah Tembus Rp70 Ribu

Kunjungan dilanjutkan dengan makan bersama, lalu peserta bergerak ke Rumah Panjang Ensaid, pusat kerajinan tenun tradisional. Selain melihat proses menenun, peserta juga membeli hasil karya sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi kreatif lokal.

Penutupan dan Komitmen Lanjutan

Malam harinya, acara ditutup dengan pembacaan singkat Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan seruan komitmen bersama. Pertemuan ini bukan sekadar agenda tahunan, tapi panggilan iman yang hidup—untuk bertindak, bersinergi, dan menjaga Kalimantan sebagai warisan cinta bagi generasi mendatang. Pertemuan akan terus dilanjutkan di Sub Regio Barat dan Timur, dan akan kembali menyatu dalam forum Regio Kalimantan berikutnya.

Kalimantan bukan hanya paru-paru dunia, tetapi juga rumah bagi ribuan komunitas dan keanekaragaman hayati luar biasa. Tapi kini, rumah ini sedang terluka. Hutan menyusut, tambang meluas, dan suara masyarakat lokal sering kali terpinggirkan.

Keadilan ekologis bukan isu pinggiran—ini bagian dari iman kita yang hidup dan menyala. Merawat Kalimantan, adalah merawat kehidupan.

Penulis: [PETRA/Keuskupan Sintang]

Bagikan ke sosial media