Paus Fransikus: Dia yang Memilih Berjalan di Pinggiran
BOENEOBARU.ID – Ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus ke-266 pada 13 Maret 2013, tak banyak yang benar-benar tahu siapa dia. Bahkan di antara para kardinal yang memilihnya. Tapi sejak detik pertama kemunculannya di balkon Basilika Santo Petrus, pria Argentina ini langsung memberi sinyal: kepausan kali ini akan berbeda.
Ia memilih nama Fransiskus—sesuatu yang belum pernah dilakukan paus sebelumnya—sebagai penghormatan kepada Santo Fransiskus dari Assisi, seorang santo yang hidup miskin dan berdamai dengan alam. Dan dalam 12 tahun masa kepemimpinannya, Fransiskus hidup dan memimpin dengan semangat itu: sederhana, berani, dan berpihak pada mereka yang terpinggirkan.
Ia menolak tinggal di apartemen megah Paus di Istana Apostolik dan memilih menetap di rumah tamu Santa Marta. Ia menolak salib emas, cukup mengenakan salib besi sederhana. Mobil dinas mewah ditukar dengan sedan kecil tanpa iring-iringan pengawal. Semua itu bukan sekadar gimik, tapi pesan kuat bahwa gereja harus kembali ke akarnya: bersama dan berpihak kepada yang kecil, yang miskin, dan yang terlupakan.
Sebagai anak imigran Italia yang tumbuh di Buenos Aires di tengah rezim militer, Fransiskus paham betul arti hidup di pinggiran. Ia menjadikan para migran, korban perdagangan manusia, dan orang-orang yang terbuang dari sistem sosial sebagai prioritas gereja. Perjalanan luar negeri pertamanya ke Lampedusa, sebuah pulau kecil di Italia yang menjadi saksi ribuan migran tenggelam di Laut Tengah, menjadi pernyataan politik dan moral. Di sana, ia mengecam keras apa yang disebutnya “globalisasi ketidakpedulian” yang membiarkan manusia tenggelam tanpa perhatian dunia.
Baca Juga: Toleransi: Kehangatan Perayaan Paskah di Desa Emparu
Sepanjang masa kepausannya, Fransiskus tercatat sebagai paus kedua paling sering bepergian dalam sejarah, dengan 47 kunjungan ke 67 negara. Ia hadir di Irak saat pandemi Covid-19, mengunjungi sejumlah negara mayoritas Muslim termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Indonesia. Asia mendapat perhatian khusus darinya. Dalam enam kunjungan ke kawasan itu, ia menyentuh Korea Selatan, Myanmar, Jepang, hingga Papua Nugini. Ia pun menjalin hubungan erat dengan Asia sebagai benua masa depan gereja. Tak hanya itu, Fransiskus juga aktif membangun relasi antaragama. Ia menjalin persahabatan erat dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed al-Tayeb, dan bersama menandatangani “Dokumen Persaudaraan Manusia” di Abu Dhabi. Ia menjadi paus pertama yang merayakan misa di Semenanjung Arab.
Diplomasi damai menjadi salah satu warisan kuatnya. Fransiskus secara konsisten menyerukan perdamaian untuk Suriah, Ukraina, Gaza, Myanmar, hingga Afrika Tengah. Ia menyebut dunia sedang mengalami “Perang Dunia Ketiga secara bertahap” yang mengancam meluas ke perang nuklir. Ia menjadi paus pertama yang bertemu Patriark Ortodoks Rusia di Havana, bersahabat erat dengan Patriark Bartholomew I, dan mempererat hubungan ekumenis serta antaragama secara aktif. Di bidang relasi global, ia juga mengambil langkah berani menjalin kesepakatan sementara dengan pemerintah Tiongkok soal penunjukan uskup di daratan Tiongkok—sebuah isu yang selama puluhan tahun gagal diselesaikan dua paus sebelumnya.
Meski Fransiskus menolak gaya hidup istana, ia tak ragu mengutak-atik struktur kekuasaan lama. Ia mengatur ulang Kuria Roma, menetapkan evangelisasi sebagai prioritas tertinggi gereja, dan mendorong gereja sinodal yang melibatkan awam, termasuk perempuan, dalam pengambilan keputusan. Di bawah kepemimpinannya, Vatikan untuk pertama kalinya menunjuk perempuan menjadi gubernur Negara Kota Vatikan dan prefek salah satu dikasteri penting.
Baca Juga: Bengkel Motor Jadi Tempat Menyimpan Emas Ilegal di Melawi
Isu-isu berat lain tak luput ditangani. Skandal pelecehan seksual yang telah merusak kredibilitas gereja ditindak serius. Fransiskus membentuk komisi perlindungan anak, mencopot kardinal pelaku, dan menyelenggarakan KTT khusus untuk para pemimpin gereja sedunia. Di bidang moral dan pastoral, ia membuka ruang diskusi soal perceraian, keluarga tidak ideal, hingga komunitas LGBT. Pernyataannya yang terkenal, “Siapa saya untuk menghakimi?” saat ditanya soal umat LGBT jadi kutipan paling diingat sepanjang masa pontifikatnya. Meski tetap mempertahankan ajaran pernikahan hanya antara pria dan wanita, ia mendukung pengakuan legal bagi pasangan sesama jenis, sebuah langkah maju di tengah konservatisme gereja.
Di bidang lingkungan hidup, Fransiskus menjadi suara moral global lewat ensiklik Laudato Si’ yang mengecam kerakusan ekonomi modern yang merusak bumi. Ia menghubungkan jeritan alam dengan penderitaan orang miskin dan menyerukan ekonomi baru yang berpusat pada manusia, bukan laba. Kepemimpinannya diakui dunia, termasuk pengaruhnya dalam pertemuan-pertemuan iklim PBB.
Di tengah semua itu, tentu saja, tak sedikit yang menentangnya. Dari Vatikan hingga Amerika Serikat, dari media sosial hingga jaringan media Katolik konservatif, kritik terhadap Fransiskus datang bertubi-tubi. Kebijakannya soal lingkungan, relasi antaragama, pendekatannya kepada umat LGBT, hingga pembatasan misa Latin Tridentin jadi sasaran serangan. Tapi Fransiskus bukan tipe pemimpin yang takut dibenci. Ia terus melangkah, meyakini gereja harus berjalan bersama zaman, tanpa kehilangan jati diri.
Fransiskus wafat pada 21 April 2025 di usia 88 tahun. Ia meminta dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore di Roma, tempat ia biasa berdoa sebelum dan sepulang dari tiap perjalanannya. Sebuah akhir yang pas bagi paus yang lebih suka berjalan ke pinggiran ketimbang duduk di singgasana.
Warisan Fransiskus tak hanya dokumen dan pidato, tapi cara hidup. Ia menunjukkan bahwa kekuatan gereja bukan pada kemewahan istana, tapi pada tangan-tangan yang menyentuh mereka yang terjatuh. Dan di tengah dunia yang gaduh, suaranya akan tetap menggema: “Jangan takut berjalan di pinggiran.”