OpiniTerbaru

Dari Ilmu ke Industri: Menggali Peluang dan Risiko Paradigma Baru Pendidikan bagi Kampus-kampus di Indonesia

Penulis : Y. Didit Setiawan, M.Pd (Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Borneobaru.id – Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini sedang berada di titik balik sejarahnya. Paradigma yang diusung oleh pemerintah melalui Menteri yang baru menjadikan perguruan tinggi sebagai agen pembangunan ekonomi. Dikutip dari laman Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Tekonologi (https://dikti.kemdikbud.go.id) pada berita yang berjudul “Mendiktisaintek Sampaikan Paradigma Transformasional Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi”, Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam sebuah kesempatan acara menyatakan, “Kami ingin memastikan bahwa Kementerian kami ini mampu untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai agen pembangunan ekonomi, supaya pendidikan tinggi mampu memberikan pada masyarakat kita suatu dampak yang lebih baik ke depan”. Paradigma ini menawarkan peluang sekaligus risiko yang perlu diperhatikan dengan seksama. Pada akhirnya, peran universitas tidak hanya sebagai institusi Pendidikan dan Penelitian, melainkan juga sebagai motor penggerak pembangunan dan inovasi yang diharapkan bisa berkontribusi langsung pada perekonomian bangsa ini.

Melihat perspektif baru yang diusung, ada beberapa peluang yang dapat ditangkap. Pertama, peningkatan daya saing global. Upaya mengintegrasikan penelitian terapan dengan dunia industri merangsang peningkatan potensi untuk bersaing dalam kancah global. Perguruan tinggi akan menjadi pusat inovasi yang pada akhirnya memunculkan produk-produk yang unggul dan mampu bersaing dalam market internasional. Kedua, komersialisasi hasil penelitian. Paradigma yang baru ini mendorong peluang hasil penelitian akademik yang kemudian dikomersialisasikan melalui kerjasama dengan dunia usaha. Hasil Penelitian tidak lagi hanya berakhir pada laporan, tapi dapat diterapkan dalam sektor industri tertentu sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, paradigma baru mendorong  peningkatan relevansi pendidikan. Apa yang dicanangkan pemerintah saat ini memperkuat apa yang sudah dilakukan oleh kepemerintahan periode sebelumnya bahwa fokus pendidikan mengarah pada kebutuhan dunia kerja. Dengan demikian, kurikulum perguruan tinggi akan disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri yang telah dimulai. Keempat, paradigma baru ini akan memicu meningkatnya kolaborasi multisektor. Kolaborasi ini akan melibatkan perguruan tinggi, pemerintah, dan sektor swasta dalam rangka menciptakan inovasi yang dapat mengakselerasi pengembangan ekonomi dan teknologi.

Di sisi lain, paradigma pendidikan perguruan tinggi yang diusung juga menyimpan risiko dan tantangan. Pertama, sangat mungkin paradigma ini akan melahirkan ketimpangan kapasitas antara perguruan tinggi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan ketidaksetaraan sumber daya yang dimiliki oleh kampus-kampus di Indonesia. Bahkan, ketimpangan itu bisa terlihat jelas seperti kampus di kota besar dan kampus di kota kecil. Keterbatasan infrastruktur pendidikan, dana, dan tenaga pengajar yang mumpuni akan menjadi tantangan yang tidak mudah. Kedua, paradigma yang baru ini akan memberikan tekanan atau beban yang berlebih pada orientasi ekonomi. Orientasi yang berlebihan berpotensi mengaburkan esensi penelitian dasar yang menjadi pijakan dari inovasi jangka panjang. Ketiga, ketergantungan pada dunia usaha dan dunia industri. Kemitraan yang digagas tentu akan membawa manfaat, tapi juga berpotensi mengaburkan independensi akademik. Perguruan tinggi harus hati-hati supaya tidak terjebak pada kepentingan bisnis saja. Keempat, paradigma ini dapat memicu lahirnya kesenjangan kurikulum dan pasar kerja. Perubahan kurikulum yang terjadi tidak akan dapat diimplementasikan dengan cepat. Dampaknya baru akan terlihat setelah beberapa periode. Ketika luaran atau produk kurikulum sudah terlihat, dunia usaha dan dunia industri telah berubah dengan cepat. Dengan demikian, potensi kesenjangan sangat mungkin akan tetap terjadi. Terakhir, paradigma ini juga dapat memunculkan resistensi terhadap perubahan. Ketika sistem yang tradisional digantikan dengan paradigma yang baru, mau tidak mau akan melahirkan sistem dengan pola yang baru pula, yang pada akhirnya “memaksa” dosen dan tenaga akademik untuk beradaptasi. Penolakan akan sangat mungkin terjadi mengingat selama ini terbiasa dengan sistem yang konvensional.

Pemerintah sebagai pemegang kendali roda pendidikan mesti memperhatikan ini dengan cermat. Orientasi yang terlalu berlebihan pada sektor ekonomi akan melahirkan manusia yang bisa kehilangan esensi dari kehidupannya. Dalam konteks ini, tidaklah baik jika pendidikan hanya melahirkan manusia yang siap untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan dunia usaha dan dunia industri. Penting bagi dunia pendidikan untuk melahirkan manusia yang dapat melanjutkan dan melestarikah kehidupan tidak hanya dari sisi ekonomi saja. Aspek kehidupan yang lain perlu diperhatikan seperti lingkungan hidup, etika dan moral, serta budaya.

Sebagai kontrol agar tidak terjerumus dalam perspektif sempit pendidikan, pemerintah dan pelaksana kebijakan perlu memperhatikan beberapa hal ini agar pengelolaan pendidikan perguruan tinggi tetap mendukung terciptanya manusia yang utuh. Pertama, kementerian terkait harus melakukan upaya penguatan infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia. Hal ini berlaku tidak hanya pada institusi negeri melainkan juga institusi swasta. Kedua institusi ini perlu diharmonisasi agar pengelolaan pendidikan tinggi mengarah pada sasaran yang sama. Kedua, diversifikasi pendanaan. Jebakan monopoli dana pendidikan terutama yang menyasar pada tridarma perguruan tinggi sangatlah berisiko mengikat dan mamangkas krativitas dan perhatian dosen pada berbagai topik yang penting dalam aspek kehidupan, dan tidak hanya tentang industri atau ekonomi. Ketiga, sangatlah perlu dilakukan penguatan riset fundamental. Hal ini bertujuan agar terjadi keseimbangan, tidak hanya bidang terapan yang ditingkatkan tapi juga bidang yang mendasar. Keempat, dalam menyambut berbagai perubahan dan perkembangan yang begitu cepat, sangatlah penting bagi dosen untuk tetap mendapatkan pelatihan dan pendampingan. Dosen-dosen yang sudah senior perlu melek akan banyak hal baru yang terjadi dan dosen muda perlu belajar untuk bijak dan mendalam dalam aplikasi pengetahuan. Bagian terakhir, pelibatan berbagai pemangku kepentingan perlu ditingkatkan. Tujuannya adalah, kebijakan yang telah diambil harus dilaksanakan dengan penuh kepastian disertai dengan inklusifitas dan efektifitas.

Ketidakmerataan kondisi perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia akan menjadi tantangan besar bagi bagi pemerintah. Upaya untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai agen industri bukanlah sesuatu yang tepat jika pada akhirnya pendidikan tidak menyelamatkan kehidupan. Sebagai bagian dari perguruan tinggi, perlu diingat bahwa tugas pendidik tidak mencetak manusia untuk siap bekerja namun memfasilitasi peserta didik untuk menemukan dan mengembangkan potensi dirinya secara lebih luas, terasah, dan adaptif sebagai manusia yang utuh. Bisa dibayangkan bagaimana kampus-kampus yang tidak memiliki sumber daya yang cukup dan dituntut untuk mengikuti paradigma baru yang diusung oleh mendiktisaintek yang baru ini. Jangan sampai kesengsaraan diderita oleh insan pendidikan gegara ambisi era baru kebijakan baru. Meski demikian, harus diakui bahwa paradigma baru ini cukup menarik untuk dilihat bagaimana penerapannya. Sudah hampir 100 hari semenjak dilantik, kita masih gamang dengan bagaimana arah pendidikan ke depan. Bagaimana tidak, sementara perguruan tinggi sedang mati-matian melakukan penyesuaian akibat lahirnya Permendikbudristek no.53 Tahun 2023, mereka masih dihadapkan pada kemungkinan kebijakan baru akibat paradigma baru. Mampukah langkah ambisius yang diharapkan dapat membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini dapat tercapai? Bagaimanakah kampus-kampus akan merespon ini? Semoga kebutuhan pragmatis yang disulap menjadi pedoman tidak mengaburkan esensi dari pendidikan itu sendiri.

Bagikan ke sosial media