15,9 Juta Anak Indonesia Alami Fatherless
BORNEOBARU.ID – Sekitar seperlima anak di Indonesia mengalami kondisi fatherless. Tedapat 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa peran ayah yang aktif atau fatherless dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Angka ini setara dengan sekitar 20,1 persen dari total 79,4 juta anak di bawah 18 tahun. Kondisi ini menjadi sorotan publik setelah pengolahan data Mikro Susenas (BPS) Maret 2024 oleh sejumlah media dan pakar yang memperingatkan dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak.
Baca Juga: Warga Kalimantan Dapat Angin Segar, Program Pemutihan Pajak Kendaraan Resmi Dimulai
Perlu disadari juga bahwa kondisi ini bukan berarti anak tidak memiliki figur seorang ayah di dalam keluarga. Dalam kasus lain, seorang ayah hadir dalam bentuk fisik namun tidak secara emosional perkembangan anak.
Dari 15,9 juta anak tersebut sekitar 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah sama sekali. Sementara itu 11,5 juta anak lainnya tinggal bersama ayah yang bekerja sangat lama (lebih dari 60 jam per minggu/lebih dari 12 jam per hari). Sehingga secara praktis sosok ayah sulit hadir secara emosional dan pengasuhan.
Selain itu, budaya patriarki yang masih kental menjadi faktor pemicu fenomena ini terjadi. Mereka menganggap menjaga dan mendidik anak adalah tugas seorang ibu saja.
Sumber data utama adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS yang diolah oleh tim data jurnalistik beberapa media. Metodologi Susenas yang berbasis sampel rumah tangga memberi gambaran prevalensi kondisi keluarga dan jam kerja anggota rumah tangga.
Baca Juga: 78 Persen Publik Puas terhadap Kinerja Setahun Pemerintahan Prabowo – Gibran
Meski angka persis bisa bervariasi tergantung definisi ketidakhadiran ayah, konsistensi analisis menunjukkan persoalan ini bukanlah hal yang biasa tetapi tren yang membutuhkan perhatian kebijakan.
Pakar dari UGM dan pengamat kesehatan keluarga menekankan bahwa peran ayah berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan psikososial anak. Absennya peran ini memengaruhi aspek sosial dan pendidikan anak.
Fenomena ini kiranya mendorong para pemangku kebijakan untuk segera bergerak. Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi angka ini. Pertama, kebijakan ketenagakerjaan yang mengurangi beban jam kerja ekstrem. Kedua, peningkatan akses layanan kesehatan mental dan pendidikan anak. Ketiga, penguatan program parenting yang melibatkan ayah.
Dengan demikian, diharapkan adanya perubahan dan perbaikan, bukan hanya masalah angka namun juga fakta yang nyata.


